Wednesday, November 22, 2006

"Business" Uang Haram

oleh: J.E. Sahetapy
(Desember 2003)

Problematik pencucian uang yang dalam bahasa Inggeris dikenal dengan nama "money laundering" sekarang mulai dibahas dalam buku-buku teks, apakah itu buku teks hukum pidana atau kriminologi. Ternyata problematik uang haram ini sudah meminta perhatian dunia internasional karena dimensi dan implikasinya yang melanggar batas-batas negara. Sebagai suatu fenomena kejahatan yang menyangkut terutama dunia kejahatan yang dinamakan "organized crime", ternyata ada pihak-pihak tertentu yang ikut menikmati keuntungan dari lalulintas pencucian uang tanpa menyadari akan dampak kerugian yang ditimbulkan. Erat bertalian dengan hal terakhir ini adalah dunia perbankan yang pada satu pihak beroperasional atas dasar kepercayaan para konsumen, namun pada pihak lain, apakah akan membiarkan kejahatan pencucian uang ini terus merajalela.

Al Capone, penjahat terbesar di Amerika masa lalu, mencuci uang hitam dari usaha kejahatannya dengan memakai si genius Meyer Lansky, orang Polandia. Lansky, seorang akuntan, mencuci uang kejahatan Al Capone melalui usaha binatu (Laundry). Demikianlah asal muasal muncul nama "Money Laundering".

Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, UndangUndang No. 15 Tahun 2002, pengertian bank dirumuskan secara luas dalam Pasal l butir 4, yaitu : Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, dan perusahaan asuransi.

Ada pelbagai perumusan bertalian dengan makna pencucian uang atau "money laundering". Pada dasarnya perumusan itu menyangkut suatu proses pencucian uang yang diperoleh dari kejahatan dan dicuci melalui suatu lembaga keuangan (bank) atau penyedia jasa keuangan, sehingga pada akhirnya uang yang haram itu mendapatkan suatu penampilan sebagai uang yang sah atau halal. Untuk mendapatkan suatu gambaran yang lebih luas mengenai makna "money laundering" ini, maka di bawah ini akan diberikan beberapa kutipan yang bertalian dengan makna "money laundering".
KUHP Swiss dalam Pasal-Pasal 305 bis dan 305 ter, pasal-pasal mana mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 1990, melarang "money laundering" dengan perumusan demikian :

Whoever commits an act designed to obstruct the establishment of provenance, the discovery or the confiscation of assets which he knows, or must assume, to be derived from a crime will be punished with imprisonment of a fine.

In serious cases the punishment will be penal servitude up to five years or a prison sentence. The sentence will be combined with a fine of up to one million Swiss Francs. A case is considered serious in particular if the offender :
a) acts as a member of a criminal organization;
b) act as a member of a gang which was formed for the purpose of continual money laundering;
c) act as a professional money launderer, thereby producing a large turnover or substantial profit.

The offender will also be punishment if the principle offense was committed abroad in a jurisdiction where it is also punishable by law. (Lutz Krauskopf, 1991).


Perumusan Pasal 305 bis di atas tampaknya perlu disempurnakan, sehingga kemudian dirumuskan usul tambahan Pasal 305 ter sebagai berikut:
"Whoever accepts, deposits, helps to invest or to transfer assets of a third party on a professional basis and fails to verify the identity of the beneficial owner with the diligence that can reasonably be expected under the circumstances will be punished with imprisonment up to one year, detention, or a fine"



Kalau memperhatikan rumusan di atas bertalian dengan "money laundering", maka rumusan itu meskipun bermaksud menjerat para penyelenggara "money laundering", namun tanpa bantuan pihak perbankan atau penyedia jasa keuangan, tampaknya proses "money laundering" akan sulit dihambat atau ditindak. Suatu " working definition" dipersiapkan oleh Central and East European Law Initiative (CEELI) yang disusun oleh Stephen R. Kroll et al. (1994). Setelah mengemukakan bahwa "money laundering is fundamentally simple", kemudian dirumuskan : "It involves disguising the existence, the amount, provenance, or ownership of funds and other assets in an attempt to avoid (1) detection of illegal activity, (2) evidence of illegal activity, (3) taxation, and (4) restrictions on profitable uses of the proceeds of illegal activity - whether to fund additional illegal activity or to reinvest the proceeds of illegal in legal activity".

Kalau melihat rumusan di atas, maka ada 3 elemen yang perlu disimak lebih lanjut, yaitu :

act -- conversion, transfer, or concealment of the true elements of ownership of property, or acquisition or use of property, or assisting or counselling such an act;

knowledge -- that the property is derived from one or more specified types of underlying criminal activity; and

objective -- to conceal the illicit origin of the property or to assist a person involved in the underlying criminal activity in evading the consequences of discovery of the activity.

Dalam Pasal 2 dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dirumuskan :
Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang berjumlah Rp 500.000.000, (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai yang setara, yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan :
a. korupsi
b. penyuapan
c. penyeludupan barang
d. penyeludupan tenaga kerja
e. penyeludupan imigran
f. perbankan
g. narkotika
h. psikotropika
i. perdagangan budak,wanita dan anak
j. perdagangan senjata gelap
k. penculikan
l. terorisme
m. pencurian
n. penggelapan
o. penipuan
yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan kejahatan tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

Tindak pidana pencucian uang dirumuskan dalam Pasal 3 UU TPPU, yaitu :

(1) Setiap orang yang dengan sengaja :

menempatkan harta kekayaan yang diketahunya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;

mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;

membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

menitipkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

membawa ke luar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana

menukarkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya; atau

menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.

Dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).



(2) Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ).
Sejumlah karakteristik yang umumnya melekat pada White Collar Crime menurut Hazel Croall (1992) sebagaimana dikutip oleh Harkristuti Harkrisnowo (2001) adalah sebagai berikut:

Tidak kasat mata (low visibility)

Sangat kompleks (complexity)

Ketidakjelasan pertanggung jawaban pidana (diffusion of responsibility)

Ketidak ielasan korban (diffusion of victims)

Aturan hukum yang samar atau tidak ielas (ambiguous criminal law)

Sulit dideteksi dan dituntut (weak detection and prosecution).

Untuk itu akan dijelaskan di bawah ini tiga tahap pencucian uang :

Pertama, apa yang dinamakan "placement". Dengan "placement" dimaksudkan "the physical disposal of cash proceeds derived from illegal activity". Dengan perkataan lain, fase pertama dari proses pencucian uang haram ini ialah memindahkan uang haram dari sumber di mana uang itu diperoleh untuk menghindarkan jejaknya. Atau secara lebih sederhana agar sumber uang tersebut tidak diketahui oleh pihak penegak hukum. Metode yang paling penting dari "placement" ini adalah apa yang disebut sebagai "smurfing". Melalui "smurfing" ini, maka keharusan untuk melaporkan transaksi uang tunai sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dikelabui atau dihindari.

Tahap yang kedua dinamakan "layering". Dengan "layering" dimaksudkan "separating illicit proceeds from their source by creating complex layers of financial transactions designed to disguise the audit trail and provide anonymity". Hubungan antara "placement" dengan "layering" adalah jelas. Setiap prosedur "placement" yang berarti mengubah lokasi fisik atau sifat haram dari uang itu adalah juga salah satu bentuk "layering". Strategi "layering" pada umumnya meliputi, antara lain, dengan mengubah uang tunai menjadi aset fisik, seperti kendaraan bermotor, barang-barang perhiasan dari emas atau batu-batu permata yang mahal, atau "real estate", atau instrumen keuangan seperti "money orders, cashiers cheques or securities and multiple electronic transfers of funds to so called `bank secrecy havens', such as Switzerland or the Caymen Islands".

Yang ketiga adalah "integration". Dengan "integration" dimaksudkan "the provision of apparent legitimacy to criminally derived wealth. If the layering process has succeeded, integration schemes place the laundered proceeds back into the economy in such a way that the re-enter the financial system appearing to be normal business funds". Dengan perkataan lain, si penjahat harus mengintegrasikan dana dengan cara legitimasi ke dalam proses ekonomi yang normal. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyampaikan laporan palsu yang menyangkut pinjaman uang, juga melalui "invoices and income of shell corporations, or more simply through an electronic transfer of the funds from a bank secrecy haven back to the money's country of origin".

Kesemua perbuatan dalam proses pencucian uang haram ini memungkinkan para raja uang haram ini menggunakan dana yang begitu besar itu dalam rangka mempertahankan ruang lingkup kejahatan mereka atau untuk terus berproses dalam dunia kejahatan yang menyangkut terutama narkotika.
Untuk menghadapi cara-cara yang digunakan para penjahat ini dengan para pembantu mereka melalui pelbagai transaksi yang tidak jelas dalam rangka menghalalkan uang mereka dalam jumlah yang besar, maka ada tiga permasalahan yang harus ditangani, jika ingin menggagalkan praktek kotor pencucian uang haram. Yang pertama ialah kerahasiaan bank, kerahasiaan financial secara pribadi, dan efisiensi transaksi.

Beberapa instrumen internasional yang erat kaitannya dengan pengaturan mengenai Money Laundering adalah :

United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances (Dec. 20, 1988);

Council of Europe Convention on Laundering, Search, Seizure and Confiscation of the Proceeds from Crime (No.8, 1990);

European Communities Directive, Council Directive on Prevention of the Use of the Financial System for the Purpose of Money Laundering (June 10,1991);

Beberapa ketentuan perundang-undangan di Indonesia yang berkenaan dengan Money Laundering antara lain adalah :

Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan beserta amandemennya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998;

Undang-Undang No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar;

Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;

Undang-Undang No.3 Tahun 1971 jo. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Korupsi.

Beberapa catatan singkat yang perlu ditambah.

Tanpa bantuan dari dunia perbankan, Money Laundering sulit diberantas, meskipun ada sanksi tegas dan keras juga terhadap dunia perbankan, apalagi surga kerahasiaan dunia perbankan di Swiss, Austria, Monaco, Hongkong, Cayman Island, Uruguay, Gibraltar, Bahamas, dan Luxembourg.

Korporasi juga bisa ditindak bila terlibat money laundering (Pasal 4 - 7 UU TPPU).

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) harus terdiri dari orang-orang yang jujur,objektif dan harus bekerja secara transparan (Pasal 17 - 29 UU TPPU).

Di pengadilan berlaku pembuktian terbalik (Pasal 35 UU No. 15 Tahun 2002).

Pelapor dan saksi wajib dirahasiakan identitas mereka (Pasal 39 - 43 UU TPPU).

Ada pidana minimum dan maksimum untuk kejahatan money laundering.

Menurut media pers, sudah lama terdapat lalulintas "business" uang haram di Indonesia, apalagi di zaman Orde Baru. Kini sudah waktunya untuk bertindak.

Salah satu kekurangan mencolok dari Pasal 2 UU TPPU ini ialah tidak dicantumkan pelacuran dan perjudian sebagai salah satu tindak pidana, padahal kedua jenis tindak pidana ini selain menghasilkan banyak uang haram, di luar negeri justru dicantumkan.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home